Pusuk, 09 Desember 2024 - Melihat dari sejauh mana tatanan penjagaan kawasan perhutanan atau kawasan hijau sebagai salah satu prospek untuk menggerakkan misi net zero emission 2050 tampaknya mulai tergoyahkan karena masih belum sesuai dengan kondisi yang terpampang di lapangan. Program net zero emission 2050 tentunya sangat bagus dan merupakan hal yang menggembirakan sebagai bentuk pelestarian lingkungan untuk generasi mendatang tentunya dengan mengedepankan keadilan sosial dan ekologis. Penggunaan energi baru terbarukan menjadi sorotan untuk mencegah terjadinya peningkatan suhu bumi atau perubahan iklim secara umum. Dibalik memfokuskan program dalam menekankan zero emission ada hal yang terlupakan untuk dibahas yakni mengenai lika-liku keberlanjutan kawasan hijau (hutan). Padahal jikalau kita telusuri lebih detail bahwasanya peranan hutan itu juga sangat sentral dalam menyerap CO² sebagai fungsi alamiahnya. Namun, meskipun gembar gembor dalam tujuan mulia zero emission itu justru dunia perhutanan seolah terlupakan begitu saja.
Bisa kita jadikan contoh adanya program Perhutanan Sosial yang katanya memberikan kelonggaran untuk menunjang kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar kawasan perhutanan dengan tujuan seperti yang kita ketahui yaitu Meningkatkan kesejahteraan masyarakat, Menjaga kelestarian lingkungan, Meningkatkan dinamika sosial budaya, Mengurangi konflik terkait pemanfaatan hutan, Meningkatkan pengawasan terhadap aktivitas ilegal seperti illegal logging. Sayangnya, di lapangan justru hanya dibiarkan mangkrak karena tidak dibarengi dengan peninjauan secara luas mengenai spesifikasi apa saja yang boleh di tanam dan menghindari penebangan secara ugal-ugalan. Edukasi yang kurang juga membuat perhutanan masyarakat menjadi ladang yang empuk untuk dijadikan sebagai kawasan bertani entah itu berfungsi sebagai pengelolaan hortikultura atau menjadikannya sebagai Agroforestry. Tapi, jikalau dilihat dari banyaknya perizinan perhutanan masyarakat banyak yang menggunakannya sebagai kebutuhan saja tanpa melakukan regenerasi dengan tanaman jangka panjang yang memang difungsikan untuk menekan perubahan iklim.
Kondisi perhutanan yang menjadi sorotan saat ini yang ingin saya koreksi dan tarik ulur ke belakang bahwasanya hutan Pusuk Lestari tidak se rimbun dan se efektif dahulu ketika penyerapan infiltrasi air lumayan lama tersimpan dalam akuifer tanah. Dahulu semasih banyaknya pepohonan yang memang difungsikan sebagai pengembangan penyimpanan air ataupun tutupan sebagai kanopi rindang sudah jarang ditemukan. Alasan kenapa hal itu bisa terjadi karena sempat dirasakan oleh saya selaku masyarakat Desa Pusuk Lestari, musim kemarau dahulu kala tidak pernah terjadi yang namanya kekeringan di beberapa sumber mata air namun sekarang jikalau musim kemarau melanda pasokan air sangat menipis. Hal ini menyebabkan saya bertanya-tanya kenapa terjadinya hal demikian, tak lain adalah dengan perspektif pandangan sains mengenai siklus hidrologi bahwasanya pohon yang mengikat air tanah sudah jarang sekali ditemukan seperti beringin, pohon boroq (dalam bahasa sasak) sudah jarang ditemukan karena pengalihfungsian lahan hutan menjadi ladang pertanian Hutan Kelola Masyarakat.
Terlepas dari pro dan kontra mengenai perhutanan sosial ini, saya sangat menyayangkan jikalau dengan adanya perhutanan sosial namun fungsi utama dari hutan itu di hilangkan justru berdampak besar untuk keadaan lingkungan di masa mendatang. Jangan sampai dengan mengatasnamakan kesejahteraan masyarakat yang tujuan mulianya adalah keadilan sosial justru tidak adil bagi keadaan ekologis. Justru dengan adanya program perhutanan ini menjadi pelecut untuk penjagaan hutan lebih terjaga karena adanya pengelolaan yang sebagai terpenting adalah tidak mengalihkan fungsi hutan yang sebenarnya justru dihilangkan dengan dalih ekonomi masyarakat. Banyak masyarakat yang juga membela cara mereka karena dengan menanamkan tanaman musiman seperti durian, alpukat, kelengkeng dan lain-lain sebagai bentuk rehabilitasi lahan yang pohon utamanya yang sudah berdiri tegak dengan fungsi yang sudah ditetapkan justru disongsong untuk ditiadakan begitu saja. Alhasil dengan penerapan itu kedepannya justru pengendalian Net Zero Emission dengan EBT justru tidak sejalan karena sudah tidak adanya CO² yang berlebihan namun hutan juga habis dilucuti kan sama juga toh. Oleh karena itu besar harapan saya selaku pengamat keadaan perhutanan di wilayah tersebut menjadi acuan yang sejaln dengan prospek net zero emission 2050 itu.
Saya rasa itu terjadi bukan di satu tempat saja namun akhir-akhir ini banyak sekali lahan perhutanan ditanami tanaman pangan seperti jagung yang value ekonominya melangit nan cepat namun terasa sekali ketika pohon itu ditiadakan kering kerontang dengan sapuan udara begitu membakar kulit. Dengan keadaan seperti ini diharapkan sekali untuk mempertegas beberapa program yang harus sejalan supaya tidak ada wilayag yang satu untung namun wilayah yang satunya lagi buntung. Dengan kondisi ini perlu dilakukan pengawasan intens dan keterlibatan pengamat kondisi iklim untuk menuntun bagaimana pengelolaan perhutanan masyarakat yang baik bukan seolah diberikan hak kelola namun bebas untuk menggunakannya untuk menumbuhkembangkan apa saja menurut mereka yang jikalau dilihat nilai pangsa pasar dan waktu singkat panen yang cukup menguntungkan namun sekali lagi tidak hanya mengedepankan keadilan sosial saja namun juga melihat hak-hak untuk keberlangsungan nilai keadilan ekologis.
@jadi.admin