Kondisi Global Saat Ini
Resesi Global dan Krisis Keuangan
Bank Dunia (World Bank) menilai bahwa perlambatan ekonomi global
saat ini merupakan yang paling tajam setelah pemulihan pasca resesi pada 1970.
Terdapat risiko terjadinya resesi global dan krisis keuangan negara berkembang
pada 2023.
Berdasarkan studi Bank Dunia, kepercayaan konsumen global saat ini
menurun jauh lebih tajam daripada kondisi menjelang resesi-resesi global
sebelumnya. Salah satu indikatornya, kondisi Amerika Serikat, China, dan
kawasan Eropa sebagai kekuatan ekonomi terbesar, melambat tajam.
Bank Dunia menilai bahwa dalam keadaan seperti saat ini, pukulan
moderat terhadap ekonomi global dalam beberapa tahun ke depan dapat membawa
datangnya resesi. Bahkan, pada 2023 pun diperkirakan akan terjadi resesi karena
serentaknya kenaikan suku bunga dari seluruh bank sentral, sebagai respons
terhadap inflasi.
"Perlambatan seperti yang sedang berlangsung biasanya
memerlukan kebijakan kontra-siklus untuk mendukung aktivitas. Namun, ancaman
inflasi dan keterbatasan ruang fiskal mendorong para pembuat kebijakan di
banyak negara untuk menarik dukungan kebijakan bahkan ketika ekonomi global
melambat tajam,"
Krisis Pangan
Krisis pangan global di depan mata, itu bukan pernyataan isapan
jempol. Tahun 2022 dunia diterpa oleh tiga fenomena C beruntun yang berimplikasi
pada munculnya krisis pangan global. Tiga C itu adalah Climate change,
COVID-19, dan Conflict. Sebelum terjadi Konflik Ukraina harga pangan sudah
didorong ke atas oleh berbagai faktor, terutama kekeringan sebagai imbas dari
climate change yang mempengaruhi negara-negara penghasil tanaman utama dan
guncangan rantai pasokan pangan akibat pandemi COVID-19.
Pertanian NTB
Sektor pertanian harus mendapat perhatian khusus dan jangan
sekali-kali diabaikan. Sektor ini merupakan tempat bergantung bagi kehidupan
sebagian besar masyarakat Indonesia. 29.8% angkatan kerja kita bekerja di
sektor pertanian tahun 2020. Sektor pertanian ini juga menghasilkan produk
pangan yg menjadi pangan pokok kita. Jika produksi pangan terganggu, bisa
mendorong menaikkan harga, dan ini bisa menimbulkan instabilitas politik jika
harga pangan naik. Dan jika kita impor, maka ada negara kita terindikasi
kedaulatan pangan turun dan perut kita tergantung pada negara lain.
Para Petani Indonesia sudah teruji dengan berbagai kondisi, dimana
selama masa pandemi Covid-19 sektor Pertanian masih tetap bertahan dan
berkontribusi dalam peningkatan devisa negara bila dibandingkan dengan sektor
lainnya.
Pertanian masih menjadi penopang terbesar perekonomian Nusa
Tenggara Barat (NTB). Lebih dari seperlima produk domestik regional bruto
(PDRB) NTB berasal dari sektor pertanian.
Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan perekonomian NTB atas dasar
harga berlaku (ADHB) mencapai Rp140,15 triliun pada 2021. Dari nilai tersebut,
sebesar Rp31,96 triliun (22,8%) disumbang oleh sektor pertanian. Sumbangan dari
sektor pertanian tersebut merupakan yang terbesar dibandingkan dengan sektor
lainnya.
Luas lahan pertanian di NTB (2021) sebesar 276.212 ha menghasilkan
padi sebesar 1.419.561 ton dengan tingkat produktivitas sebesar 529,25.
Data Dinas Pertanian dan Perkebunan NTB mencatat indeks ketahanan
pangan NTB masuk dalam kategori sangat baik dengan nilai 74,6 poin pada 2022
dengan surplusnya produksi padi, jagung dan kedelai. Pada 2022, produksi beras NTB
sudah mencapai 1,1 juta ton dari target 2,2 juta ton pada 2022. Kemudian
produksi jagung 1,6 juta ton dari target 2,2 juta ton, produksi kedelai 3.124
ton dari target 40.809 ton pada 2022.
Solusi Mengatasi Krisis Global Sektor Pertanian
Krisis Pangan perlu menjadi perhatian khusus karena berkaitan erat
dengan sektor pertanian. Setidaknya provinsi NTB berfokus pada tiga aspek
ketahanan pangan yakni ketersediaan, keterjangkauan, dan keamanan pangan.
Dalam aspek ketersediaan pangan, penyediaan sarana dan prasarana
produksi serta akses pasar dan kelancaran distribusi menjadi fokus utama
pemerintah. Monitoring daerah surplus dan defisit pangan terus dilakukan agar
Pemerintah dapat merespon dengan cepat apabila ditemukan daerah yang mengalami defisit
pangan.
Selain itu juga, Climate Change (Perubahan Iklim)
kalau pada dasawarsa sebelumnya, pergantian musim dapat ditebak dengan
menghitung bulan setiap tahunnya, namun kondisi itu kini sudah nyaris berubah
total. Bulan Meret sampai September yang selama ini selalu diindentikkan dengan
musim kemarau, namun pada bulan-bulan tersebut sering terjadi curah hujan
dengan intensitas tinggi, sehingga dampaknya sulit di antisipasi, karena memang
diluar prediksi. Begitu juga dengan musim penghujan yang biasanya terjadi pada
bulan Oktober sampai dengan Pebruari, sekarang juga sudah sangat sulit di
prediksi, pada bulan-bulan dimana biasanya terjadi hujan dengan intensitas
tinggi, namun di beberapa daerah malah terjadi kekeringan.
Terjadinya perubahan iklim dan cuaca yang semakin meluas itu,
banyak ditengarai akibat kerusakan lingkungan yang semakin parah. Penebangan
hutan secara liar dan tidak terkendali, penggunaan gas freon dan pestisida
kimia secara berlebihan, pencemaran udara oleh pabrik maupun kendaraan
bermotor, penggunaan plastik dan benda lain yang sulit terurai dalam tanah dan
berbagai tindakan atau prilaku tidak peduli kepada lingkungan yang dilakukan
baik secara sadar maupun tidak sadar. Tindakan atau perilaku tersebut kemudian
berdampak pada kenaikan suhu permukaan bumi atau pemanasan global (Global
Warming), menurunnya kualitas tanah, udara dan air akibat pencemaran yang
kemudian terakulumulasi sebagai penyebab terjadinya perubahan iklim secara
signifikan.
Dampak dari perubahan iklim ini akhirnya dirasakan oleh semua
sektor kehidupan, namun dampak terbesar sangat dirasakan di sektor pertanian.
Menurunnya kualitas, kesuburan dan daya dukung lahan, menyebabkan produktivitas
hasil pertanian juga ikut menurun, begitu juga dengan ketersediaan air yang
semakin terbatas dan kualitasnyapun yang semakin menurun, juga menjadi penyebab
terus anjloknya produksi pertanian. Ditambah lagi dengan fenomena El
Nino dan La Nina yang juga sangat berpengaruh
terhadap siklus iklim yang secara otomatis menyebabkan bergesernya jadwal tanam
berbagai komoditi pertanian serta semakin besarnya kemungkinan terjadi gagal
panen (puso).
Sebagai salah satu alternatif mengantisipasinya, Petani harus
aktif untuk meng-update data iklim dan cuaca di daerah mereka untuk bisa
melakukan antisipasi dini, misalnya dalam pengaturan jadwal tanam dan efisiensi
penggunaan air dalam aktifitas usaha tani mereka. Petani harus cerdas membaca
kondisi alam, baik intensitas curah hujan, suhu dan kelembaban udara, intnsitas
penyinaran matahari, arah dan kecepatan angin. Prediksi iklim dan cuaca serta
peringatan dini (Ealrly Warning) yang selama ini selalu
dikeluarkan oleh otoritas BMKG, merupakan salah satu instrumen penting yang
bisa dimanfaatkan petani untuk mengantisipasi dampak dari global
climate change ini.
@jadiadmin